Sabtu, 20 Februari 2010

Yogyakarta Serambi Madinah, Relevankah?

Oleh: H. Ahmad Adaby Darban
 (Disampaikan dalam Diskusi Keummatan di The CMC Yogyakarta, 
19 Februari 2010)

           Wacana yang muncul dari bebarapa lembaga dan perorangan, baik itu seniman, budayawan, ulama, maupun cendikiawan di lingkungan masyarakat Yogyakarta tentang "Yogyakarta Serambi Madinah", perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Dengan khusnudhon munculnya wacana itu merupakan sebuah upaya yang baik, dalam rangka untuk lebih mendekatkan nilai-nilai kebaikan antara Madinah dan Yogyakarta, serta melanjutkan hubungan budaya dari keduanya yang telah mesra sejak dipertemukan oleh pare wall dan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Budaya Arab yang Islami dan Budaya Jawa telah bertemu mesra dalam lingkungan Kerajaan Mataram Islam. Sebagai contoh, pengawinan kalender Ajisaka dengan kalender Hijriyah, menjadi Kalender Jawa telah membuktikan keduanya dapat berhubungan secara mesra. Demikian pule, dalam tata-pemerintahan, upacara-upacara tradisional, kesenian, Sastra, Kebudayaan dan peradaban, serta setting kota (Kratoni Kabupaten-- Alun-alun dan Masjid) menjadi aikon dari kota-kota baik di Jawa maupun di kawasan Indonesia lainnya.
             Di samping itu, budaya menghadapi masyarakat yang majemuk, di zaman Nabi Muhammad SAW memimpin Madianah (Lihat PIAGAM MADINAH), mayoritas muslim dapat hidup secara damai dengan masyarakat Yahudi clan Nasrani, serta masyarakat keduanya pun mendapat perlinclungan dan hak­haknya untuk beribadah clan bernegara bersama umat Islam. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang mewarisi tradisi Mataram Islam, Rajanya mencanturnkar, dalam gelarnya "Abdurrahman Sayidin Panatagama Khaiifatullah", meskipun sebagai raja dalam kerajaan Islam, selalu menjaga kedamaian, melindungi clan memberikan hak-haknya pads sebagian masyarakat yang bukan Islam, sehingga berhasil menciptakan ketenytraman dan kesejahteraan bersama. Masyarakat Yogyakarta pun selalu berusaha untuk "guyup-rukun" dalam hidup berdampingan secara damai, meskipun terdiri dari berbeda-beda agama, kesukuan, bahkan kebangsaan. Keadaan itu terus diusahakan berlangsung terus. Oleh karena itulah, wacana tentang "Yogyakarta Serambi Madinah", adalah tidak bertentangan dengan budaya dan kehidupan social keagamaan, berbangsa dan bernegara, bahkan justeru akan menjadikan Yogyakarta lebih maju sesuai dengan jatidirinya. 
            Meskipun sudah merdeka, dan Yogyakarta telah menjadi Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, jatidiri Yogyakarta sebagai daerah yang religious (lihat filoshofis Kraton, Alun-alun, dan Masjid Gedhe). Di Yogyakarta, antara penduduk asli dan pendatang dari berbagai daerah dan sukubangsa, dapat hidup tentram dan damai. Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, Kota Budaya, dan pengembangan Peradaban, sebagai tempat persemaian mendidik, mengembangkan, penggodogan kader-kader bangsa di mass kini dan masa yang akan datang.
             Mewujudkan wacana tentang "Yogyakarta Serambi Madinah" adalah langkah yang dapat dianggap positif, karena jatidiri Yogyakarta selaras dengan Madinah sebagai negeri yang perperadaban. Dengan demikian, meskipun hanya sebatas "serambi", dalam arti tidak keseluruhan sama, namun paling tidak terdapat kesamaan dalam berhasil menciptakan ketentraman-kedamaian dalam masyarakat yang majemuk. Paling tidak lagi, ada  kesamaan, bahwa Madinah dan Yogyakarta sebagai negeri pengembang  ilmu pengetahuan dan peradaban. Madinah dan Yogyakarta sebagai negeri yang mengedepankan religiousitas dalam membina masyarakatnya. Masyarakat Madinah dan Yogyakarta memiliki karakter yang hampir sama, yaitu santun, ramah, dan sopan. Dengan demikian, maka langkah untuk mewujudkan wacana "Yogyakarta Serambi Madinah", berarti juga Yogyakarta akan selalu ingat sebagai "Negeri yang Berperadaban, dan akan selalu Menjaga Nilai-Nilai Peradaban yang Tinggi, seperti Madinatul Munawwaroh".

---------------------
Ahmad Adaby Darban, Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya dan Tokoh Kauman Yogyakarta

Sabtu, 06 Februari 2010

YOGYAKARTA SERAMBI MADINAH

Oleh: Eko Mardiono S.Ag.
 Anggota Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kec Cangkringan/
Penghulu di KUA Kec Depok, Kabupaten Sleman.
(Sumber:  http://www.kr.co.id/05/02/2010 08:39:06,
 juga termuat di “Opini Publik”, Kedaulatan Rakyat, hlm. 4)      
*                 Haruskah predikat Yogyakarta sebagai serambi Madinah diikuti dengan Peraturan Daerah (Perda)? Pertanyaan krusial ini mengemuka setelah ditandatanganinya kesepakatan antara pihak Keraton dan Kanwil Departemen Agama Provinsi DIY pada 28 September 2009 yang lalu. Ketika itu, kedua belah pihak sepakat untuk secara bersama-sama menjadikan Yogyakarta sebagai Serambi Madinah.
*                  Sebenarnya jawaban dari pertanyaan di atas sudah tergambar jelas dalam sikap Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan mengapresiasi positif predikat tersebut. Namun, Beliau menolak jika predikat itu harus diikuti dengan Perda. Apalagi, bila disertai penerapan syariah Islam sebagaimana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Penegasan Sultan ini merupakan tengara jelas bagi siapa pun dan pihak mana pun. Bahwa, predikat kota Yogyakarta itu sebatas pada adanya kesamaan semangat perjuangan dan kesejarahan antara Madinah dan Yogyakarta, sehingga tidak perlu dimaknai dan diterjemahkan dalam konteks keagamaan (KR, 01/02/10).
*                  Bagaimana sebenarnya wacana Islam memandang permasalahan ini? Membahas persoalan ini menjadi begitu urgen karena di kalangan umat Islam sendiri terdapat tiga aliran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian sekuler. Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan. Menurut aliran ini, Islam adalah satu agama yang sempurna yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abu A’la al-Maududi.
*                 Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler. Ajarannya tidak ada hubungannya dengan urusan keduniaan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad adalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya. Ia hanya bertugas mengajak umat manusia untuk kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi dalam pandangan aliran ini tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara dan menjadi kepala negaranya. Tokoh-tokoh terkemuka aliran ini antara lain Ali Abd a-Raziq dan Dr. Thaha Husein.
*                 Aliran ketiga, yaitu suatu aliran yang menolak pemahaman bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan detail. Menurut aliran ini, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan. Namun demikian, aliran ini juga menolak suatu anggapan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya. Aliran ini berpendirian, dalam Islam memang tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi di dalamnya terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh aliran ini adalah Dr Mohammad Husein Haikal.
*                  Pertanyaannya sekarang adalah aliran mana yang tepat dipilih untuk menjawab tentang perlu tidaknya pengikutan sebuah Perda pasca disepakatinya Yogyakarta sebagai Serambi Madinah? Sudah banyak pakar yang melakukan kajian tentang itu. Ternyata, setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran pertama, kiranya dapat disimpulkan bahwa aliran ketiga lah yang tepat untuk dipilih. Yaitu, suatu aliran yang berpendirian bahwa dalam hal ketatanegaraan, Islam hanya menentukan seperangkat prinsip dan tata nilai-etika seperti yang tertuang dalam Alquran.  Adapun penerapannya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lainnya dan antara satu budaya dengan budaya lainnya.
*                  Lantas, haruskah implementasinya diwujudkan dalam bentuk formal berupa Perda? Ada dua teori, formalistik dan substantif. Teori pertama mengajarkan bahwa implementasi ajaran agama harus mempunyai label formal. Sedangkan, teori kedua menentukan bahwa yang terpenting adalah terimplemtasikannya substansi dari suatu ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
*                  Ada peristiwa sejarah yang bagus digunakan untuk mengurai persoalan ini. Yaitu, peristiwa perumusan perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Madinah dan suku Quraisy dari Mekah. Dalam catatan sejarah ini tampak bahwa Nabi SAW lebih mementingkan substansi daripada aspek label formal.
Sewaktu merumuskan naskah perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW menerima baik keberatan-keberatan yang diajukan oleh utusan suku Quraisy, Suhail bin Amr. Sebaliknya, Suhail tetap tidak pernah mau bergeser dari posisinya. Sebagai awal perjanjian, Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan: “Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Suhail memotongnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mengenal sifat-sifat “Maha Pengasih dan Maha Penyayang” itu, dan dia minta supaya diganti menjadi: “Dengan nama-Mu ya Tuhan”, dan Nabi pun memerintahkan Ali untuk mengikuti keinginan Suhail.
*    Ketika Nabi meminta Ali untuk menulis: “Berikut ini adalah naskah perjanjian yang dicapai oleh Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga memotongnya dengan mengatakan bahwa kalau ia terima atau percaya bahwa Beliau adalah utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya, dan dia minta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah” diganti dengan “Muhammad anak Abdullah”. Nabi SAW pun meminta Ali untuk menulis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Suhail.
*            Dari catatan sejarah ini tampak jelas bahwa Nabi SAW lebih mementingkan substansi untuk mengimplementasikan suatu prinsip dan tata nilai-etika daripada memperoleh aspek label formalnya. Piagam Madinah sendiri yang oleh banyak pakar dinyatakan sebagai konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara membangun peradaban yang egaliter. Piagam itu mengatur tentang hubungan antarsesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lainnya. Hubungan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip: bertetangga secara baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan bertoleransi dalam kehidupan beragama. Semoga bermanfaat. q  - s.  (198-2010).