Minggu, 17 April 2016

PERLU FORMULA BARU DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN



H. CHOLID MAHMUD:
PERLU FORMULA BARU DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Pada masa orde baru, proses perencanaan pembangunan menggunakan model GBHN, sedang pada pascareformasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2004 proses perencanaan pembangunan menggunakan pola Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Kedua-duanya sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Olehkarena itu, ke depan, perlu formula baru dalam perencanaan pembangunan nasional kita. Di antara wacana yang kini berkembang: perencanaan pembangunan pola SPPN perlu disinergikan dengan perencanaan perencanaan pembangunan model GBHN. Bentuk sinerginya bisa dilakukan dengan menggabungkan kelebihan pada model GBHN dengan kelebihan dengan pola SPPN,” Demikian diungkapkan oleh anggota MPR RI dari DIY,  H. Cholid Mahmud dalam acara Sosialisasi Tata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara: Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika di Aula Gedung DPRD Kabupaten Sleman, Sabtu malam, 16 April 2016.

            Kegiatan Sosialisasi kali ini diikuti tokoh Pemuda, tokoh masyarakat, dan tokoh profesi dari berbagai pelosok Kabupaten Sleman bekerjasama dengan Yayasan Indonesia Satu Hati Yogyakarta. Kegiatan yang digelar di tengah masyarakat dalam berbentuk ini merupakan program MPR RI Tahap Kedua di Tahun 2016. Pada Tahun Program 2016 ini direncanakan MPR RI akan melakukan kegiatan sosialisasi 5 tahap, dan kegiatan Dengar Pendapat dengan Masyarakat 3 tahap.
            Menurut Cholid Mahmud, “GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) pernah menjadi pola perencanaan pembangunan di Indonesia selama 30 tahun atau 6 repelita (rencana pembangunan lima tahun). Sebagai pola perencanaan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihan GBHN adalah kejelasan dalam menentukan tujuan atau goal dan teori pembangunan  sebagai landasan serta tahapan-tahapan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Faktanya dengan GBHN, Pemerintah Orde baru berhasil swasembada pangan dalam lima belas tahun dan menekan laju pertumbuhan penduduk menjadi 2.5% dari 5% sejak dekade 1970-an. Di sisi lain, GBHN juga mengandung kelemahan dalam proses perencanaannya. Proses teknokratik dilakukan oleh Bappenas sangat dominan sehingga dinilai sangat topdown dan mengabaikan proses partisipatif. Akibatnya, kepentingan pemerintah pusat menjadi pokok perencanaan utama, sementara kepentingan daerah banyak terabaikan,” jelasnya.
“Sementara perencanaan pembangunan pola SPPN dinilai syarat dengan penjabaran visi, misi, dan program pasangan Presiden-Wapres terpilih, tetapi kurang memperhatikan keberkesinambungan pembangunan pada periode pemerintahan berikutnya. Nah, kini saatnya kita menggagas formula baru dalam perencanaan pembangunan yang lebih partisipatif, sangat akomodatif terhadap kepentingan daerah, menjaga prinsip berkesinambungan pembangunan, tetapi tetap bisa diwarnai dengan muatan visi, misi, dan program khas pasangan Presiden dan Wapres terpilih,” pungkas Cholid Mahmud. (SH/MIS)