Minggu, 24 Juli 2016

Warga Kraton Kritisi Keistimewaan DIY



H. Cholid Mahmud Reses di Joglo Tamansari:
Warga Kraton Kritisi Keistimewaan DIY

          Setelah sekian lama ditetapkan dan dilaksanakan, kami merasa Keistimewaan DIY itu belum bisa mensejahterakan masyarakat. Bahkan, seolah-olah hanya kepentingan elit DIY belaka. Dana keistimewaan DIY terkesan hanya bisa dinikmati oleh sebagian kalangan saja. Masyarakat  umum tidak bisa mengakses sehingga tidak dapat merasakan kemanfaatannya,” demikian aspirasi kritis salah satu warga Taman, Kecamatan Kraton pada acara Jaring Aspirasi yang diselenggarakan anggota DPD RI dari DIY, H. Cholid Mahmud di Joglo Tamansari, Jalan Taman, Kalurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta pada Sabtu malam, 23 Juli 2016.
            Saking belum dirasakannya kemanfaatan keistimewaan DIY oleh masyarakat kecil, muncul pula aspirasi perlunya amandemen UU Keistimewaan DIY ke depan. Bapak Eka misalnya, menyusulkan, “Ke depan sebaiknya, Sri Sultan dan Sri Pakualaman ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sedang Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai kelapa pemerintahan sekaligus pimpinan eksekutif di Pemprov DIY tetap dipilih oleh rakyat sehingga kualitas dan integritas sang calon Gubernur dan Wakil Gubernur teruji secara demokratis serta proses pengawasan dan pertanggungjawaban kinerjanya lebih jelas, tegas, dan tidak ada ‘kesungkanan’ dari anggota Dewan sebagai legislatif.”
            Bapak Arief Hadiyanto mengkritisi penggunaan danais selama ini. Menurut beliau, “Danais semestinya diarahkan untuk membangun manusia DIY agar berbudipekerti luhur dan berbudaya istimewa. Danais seharusnya mampu mengangkat budaya luhur DIY yang relegius serta mampu mengembangkan potensi dan khasanah kebudayaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualamanan yang menjadi kebanggaan masyarakat DIY, misalnya untuk pembuatan film Keistimewaan DIY tetang Perjuangan HB I dan HB II dalam menentang penjajahan Belanda atau Film Perjuangan HB IX dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Di samping itu, penggunaan danais harus diwaspadai jangan sampai justru mendorong munculnya ritual-ritual syirik yang bertentangan dengan jatidiri DIY yang berakar pada Kasultanan Islam. Hal itu sangat menciderai keyakinan ummat Islam DIY dan tidak seiring dengan visi misi pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” ungkapnya.
            Masih banyak aspirasi dan masukan-masukan yang muncul dalam forum singkat itu, di antaranya menyayangkan Pemerintah sangat akomodatif terhadap berdirinya hotel-hotel di Yogyakarta sehingga menenggelamkan “keunikan” Tatakota Kota Yogyakarta. Pada sisi kebijakan lokal, “Jogja bertambah ruwet karena banyak berjubelnya hotel. Jogja bertambah semrawut dengan adanya bentor (becak motor) berseliweran tanpa aturan. Terus terang hal ini membuat masa depan kami, para pekerja wisata khususnya di jero beteng semakin suram. Kami mohon segera dibuat regulasi untuk bentor, mungkin akan lebih baik kalau dihilangkan saja, atau tidak boleh beroperasi di lokasi wisata,” usul Agus Wilopo, salah satu pemandu wisata di lokasi wisata Tamansari.
            Terhadap masukan dan aspirasi-aspirasi tersebut anggota Komite I DPD RI. H. Cholid Mahmud berkomitmen akan menyampaikan kepada pihak-pihak yang terkait. “Adapun aspirasi dan masukan yang menyangkut regulasi  atau kebijakan di Tingkat Pusat Insya Allah akan kami bawa ke Jakarta, khususnya akan kami bahas di Komite I DPD RI secepatnya,” ujar H. Cholid Mahmud yang malam itu tampak kelelahan dan terbatuk-batuk. (MIS).