Jumat, 16 Maret 2012

PEMERINTAH SEBAIKNYA BATALKAN RENCANA KENAIKAN BBM


H. Cholid Mahmud, M.T., Ketua Komite IV DPD RI
       halonusantara.com. Beberapa hal yang menjadi bahan Pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun anggaran 2012 yang disampaikan melalui rapat Paripurna di gedung DPD hari ini salah satunya adalah membatalkan kenaikan harga BBM.
          Ketua Komite IV DPD RI Cholid Mahmud mengatakan bahwa anggota DPD RI seluruh Indonesia setelah mempelajari kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan akibat rencana kenaikan harga BBM maka meminta kepada pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan BBM. Idealnya menurut Cholid kenaikan BBM seharusnya dengan mempersiapkan infrastruktur terlebih dahulu sehingga jika BBM naik dan subsidi dikurangi maka masyarakat sudah mempunyai alternatif.
          Meski Dampak pengurangan subsisdi tidak dapat dihindari, dan berakibat pada kenaikan harga BBM. Akan tetapi, lanjut Cholid Mahmud, “tidak seharusnya akibat kenaikan BBM di pasaran dunia akan diakomodasi oleh RUU APBN-P TA 2012, Untuk itu harus dilakukan solusi dengan meningkatkan penerimaan negara dan penghematan belanja atau pengeluaran negara”.
          Untuk diketahui bahwa, Peningkatan penerimaan negara saat ini didominasi oleh penerimaaan pajak. Dalam RUU APBN-P TA 2012, penerimaan pajak justru turun sejumlah Rp. 20.832,3 milyar yaitu, penerimaan pajak berdasarkan APBN TA 2012 sebesar Rp. 1.032.570,2 dan penerimaaan pajak bedasarkan RUU APBN-P TA 2012 Rp. 1.011.737,9.
          Kebijakan tersebut adalah tidak rasional mengingat bahwa akhir-akhir ini sedang dilakukan pengawasan yang komprehensif terhadap pejabat pajak dan wajib pajak dalam melaksanakan sistem perpajakan self assesment. Dari sisi penghematan belanja negara, ternyata dalam RUU APBN-P TA 2012 terdapat kenaikan sejumlah Rp. 99.175,4 milyar untuk 13 K/L dan Non K/L yang meliputi belanja K/L Rp. 93.321,2 milyar dan belanja non K/L Rp. 26.728,0.
          Penghematan perlu dilakukan pengkajian ulang secara selektif untuik K/L dan non K/L, mana yang perlu dikurangi. Bantuan langsung tunai sementara merupakan shok therapy jangka pendek saja untuk mengatasi gejolak harga bagi masyarakat kecil. Untuk itu besarnya bantuan jangan sampai terjadi kebocoran dengan mengupayakan mekanisme yang tidak berbelit-blit serta transparan.
          Untuk jangka panjang agar dipersiapkan secara sungguh-sungguh alternatif pengganti BBM ke BBG, serta mengembangkan diversifikasi energi seperti energi angin, biofuel, energi yang baru dan kebijakan bauran energi (energi mix) serta mengganti bahan bakar yang tersedia di Indonesia dengan harga murah. (mahendra)

Kamis, 15 Maret 2012

PERLU KEBIJAKAN PEMBATASAN KONSUMSI BBM

Diskusi Dampak RAPBNP-2012 di the CMC
   
     YOGYAKARTA – Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi bahan perbincangan hangat menjelang dinaikkan harganya, April 2012 mendatang. Dalam diskusi terbatas yang mengetengahkan tema Dampak Sosial Politik APBN Perubahan (APBN P) 2012 pun akhirnya mengerucut pada persoalan BBM. Diskusi tersebut dihelat oleh The Cholid Mahmud Center (CMC) di kantor yang terletak di Kompleks Masjid Uzlifatul Jannah Warungboto UH II/689 A Umbulharjo, Yogyakarta, Sabtu (10/3) lalu. 
     Narasumber yang diundang Direktur Jogjakarta Transparansi Winarta dan Direktur IDEA Wasingatu Zakiah. Namun, Wasingatu tidak dapat hadir karena ada kegiatan lain yang tidak dapat ditinggalkan. Meski demikian, Wasingatu mendeskripsikan opininya dalam makalah berjudul “Pemerintah (belum) Serius Menerapkan Kebijakan Pengaturan Subsidi BBM”. 
     Selain dua narasumber, The CMC Yogyakarta juga menghadirkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ir H Cholid Mahmud, MT sebagai mediator penampung aspirasi untuk diperjuangkan di Gedung wakil rakyat di Senayan, Jakarta. Turut hadir Staf Ahli DPR RI Suprih Hidayat, S Sos, wartawan, dan aktivis LSM terkait. Sedangkan posisi H Wajdi Rahman sebagai moderator yang membuka, mengatur jalannya dialog, dan menutup forum.
     Lalu, hal apakah yang krusial dihadapi pemerintah di balik kebijakannya yang tidak bisa berkelit dari keputusan untuk menaikkan harga BBM? 
     Dalam pengamatan dan pencermatan forum diskusi, menurut Primaswolo Sudjono, pemerintah masih menggunakan pola lama dalam upaya meredam dampak sospol terkait BBM, yaitu dengan cara memberikan subsidi bulanan berupa BLT (bantuan langsung tunai) sebesar Rp 150 ribu/KK (kepala keluarga). Dengan kata lain, pemerintah tidak ingin berpusing-pusing lagi mencari pemecahan yang lebih produktif sifatnya dan mampu berjalan lebih lama. Padahal, dengan pemberian BLT tidak lebih efektif dan apalagi produktif. Selain itu, masa berlaku untuk antisipasi dampak sospol juga hanya berlaku dalam jangka pendek. Semestinya pemerintah lebih mempertimbangkan pemberian kompensasi yang bersifat lebih produktif. Karena, dikhawatirkan dari pola pemecahan masalah secara sederhana dan konservatif itu menguntungkan posisi partai penguasa untuk kepentingan 2014.
    Seperti diungkapkan Direktur Jogjakarta Transparansi Winarta, pemerintah seharusnya mencermati penanganan risiko dampaknya. Karena, untuk gejolak sosial bisa sebentar dan sementara sifatnya. Tapi, soal dampak bisa lama. Persoalan BBM tidak bisa bila hanya diantisipasi sifatnya secara politis, melainkan mesti terkelola untuk jangka panjang. Mengingat, untuk konteks sosial di Indonesia tidak sama. Di tiap-tiap daerah memiliki karakter sendiri-sendiri. Karenanya, peran di daerah harus diberi porsi karena yang lebih memungkinkan untuk lebih kreatif dalam mengantisipasi persoalan di daerah masing-masing.
     “Yang dihadapi di (pemerintah) daerah tak hanya terkait dengan kenaikan BBM. Tapi, juga paket kebijakan lain, seperti kenaikan gaji 10% juga membebani anggaran di daerah. Di tiap daerah ada skema jaring pengaman sosial (terutama pendidikan dan kesehatan) ini bisa dijadikan skema untuk mendukung program itu,” urai Winarta.  
    Menurut M Raza’i, persoalan kenaikan BBM bukan hanya akibat dari kenaikan harga BBM internasional. Tapi, memang sudah ada kesalahan asumsi dalam mengonsumsi harga BBM. Bahwa ada pemborosan yang menjadikan kesalahan asumsi. Karena, konsumsi BBM subsidi ternyata berbeda jauh dengan yang diamati pemerintah.
     Sedangkan untuk APBN Perubahan merupakan bagian dari ritual tahunan. Tapi, pemerintah tidak mengambil hikmah bahwa ada kelemahan dalam membuat asumsi. Ini artinya ada kelemahan dalam penyelenggaraan negara. Waktu penyusunan APBN 2012 harga minyak internasional 90 US dolar/barel. Mestinya pemerintah tidak memakai asumsi itu. Kedua, konsumsi BBM yang cenderung pemborosan. Mayoritas konsumsi BBM di Pulau Jawa. Di Jawa terjadi pemborosan BBM luar biasa. 
      “Daripada menggunakan subsidi BBM, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang lebih mendasar dan dampaknya lebih panjang,” ujarnya.
     Selain itu lanjut Raza’i, masyarakat sudah sering menderita. Sedangkan antisipasi melalui BLT sangat temporer. Setelah itu masyarakat bisa adaptasi. Tapi, berarti negara menjadi institusi yang tak berfungsi. Kalau ada sisa anggaran (ini mestinya tak ada sisa kalau untuk subsidi), yang lebih penting daya beli masyarakat. Dampak sosial itu soal daya beli. Karena itu, kemampuan daya beli terkait dengan masalah lapangan pekerjaan. Hal ini mestinya dialokasikan pada pembentukan lapangan pekerjaan baru. Mungkin instan, seperti padat karya, justru lebih kongkret. 
     “Yang lebih krusial soal pengendalian harga. Di Malaysia harga sama karena kebijakan pemerintah dalam mengendalikan barang luar biasa. Bagaimana peran pemerintah dalam mengendalikan harga dikongkretkan. Bukan dalam membuat infrastruktur jalan, tapi ada subsidi transportasi untuk mengendalikan harga barang. Sehingga, harga barang stabil. Ada hukum psikologis sehingga barang yang tak terkait BBM tak ikut naik,” beber Raza’i.
    Staf Ahli DPR RI Suprih Hidayat pun mengemukakan, rekomendasi yang disampaikan harus ada penekanan agar kita tak selalu mengulang. Mengingat, kecenderungan dalam pemerintahan, BBM selalu menjadi tawanan setiap rezim. Seolah setiap rezim mensubsidi BBM padahal kalau secara konstitusi yang mendapat subsidi adalah sektor pendidikan. Ini harus ada unsur kajian secara konstitusional. Bagaimana menempatkan persoalan BBM sehingga bukan satu masalah yang harus menjadi tawanan pemerintah karena mengandung unsur politis yang tinggi. Karena itu, harus ada diturunkan menjadi kebijakan-kebijakan yang lebih mampu memprediksi terhadap gejolak yang ada sehingga kita bisa menetapkan harga ideal. 
     Singkat kata, peserta diskusi juga mengupas kemungkinan pengalokasian dana Rp 25,564 milyar untuk kompensasi pengurangan subsidi energi yang akan digelontorkan pemerintah untuk mengantisipasi dampak sospol kenaikan BBM. Bila dana tersebut dibagi rata ke semua daerah di 33 provinsi, tentu akan menimbulkan persoalan baru. Dan, bahkan untuk sampai ke tangan yang berhak menerimanya bisa makan waktu lama. Selain itu, pendataan angka kemiskinan guna mendapatkan kupon BLT di tingkat bawah juga bisa memicu konflik horizontal karena data atau pemetaan angka keluarga miskin dari yang dikeluarkan tiap-tiap dinas/instansi bisa berbeda-beda.
     H Ir Cholid Mahmud, MT menggarisbawahi, forum diskusi hanya dapat menggulirkan rumusan alternatif pemecahan masalah yang dapat diaplikasikan oleh pemerintah dan pengambil kebijakan. Antara lain, pertama, pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang terkait dengan persoalan energi. Kedua, pada sisi konsumsi harus ada kebijakan makro dari pemerintah untuk kebijakan pembatasan konsumsi BBM. Ketiga, dampak dari kenaikan BBM harus ada kebijakan untuk kelompok terdampak dengan pendekatan multi atau gabungan. (R Toto Sugiharto)

Senin, 12 Maret 2012

PENGURANGAN DAMPAK HARUS MENYELURUH


PEMERINTAH TERSANDERA HARGA BBM
(dikutip dari Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage, 11 Maret  2012 (17 Bakdamulud 1945) Halaman 2)
       YOGYA (KR) – Kebijakan mengurangi dampak buruk akibat kenaikan harga BBM harus menyeluruh. Tidak hanya diarahkan kepada kelompok masyarakat miskin, tetapi juga diarahkan kepada antisipasi kerugian masyarakat, khususnya sektor usaha akibat kenaikan harga BBM.
     “Banyak sekali akibat buruk dari kenaikan harga BBM. Jika hanya diberikan bantuan langsung selama 2-3 bulan saja tidak cukup. Sementara dampak kebijakan itu membuat jumlah warga miskin meningkat. Untuk memulihkan, membutuhkan waktu yang tidak singkat,” ujar Ketua Jogjakarta Transparansi Winarta dalam Diskusi Terbatas tentang Rencana Perubahan APBN 2012 (APBN-P) yang digelar oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari DIY H Cholid Mahmud, Sabtu (10/3). Diskusi menghadirkan sejumlah peserta dari staf ahli DPR RI, aktivis kampus hingga wartawan.
     Menurut Winarta, pengalaman telah memberikan gambaran bahwa kenaikan harga BBM telah menggiring pada situasi sulit masyarakat, pengusaha, dan sarana transportasi. Namun demikian, jangan sampai kenaikan harga BBM menjadikan alasan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
     Karena itu, pemerintah diharapkan memperhatikan juga dampak dimaksud. Termasuk di antaranya memberikan bantuan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sehingga mereka tetap dapat berproduksi dengan baik.
     Selain itu, pemerintah daerah sebagai pihak yang langsung berhadapan dengan rakyat, harus dilibatkan dalam upaya mengatasi dampak tersebut.
     Cholid Mahmud mengungkapkan dalam Rencana APBN-P 2012, pemerintah mengusulkan alokasi dana Rp 25,564 triliun untuk kompensasi pengurangan subsidi energi. Diharapkan dana tersebut disalurkan dengan tepat sasaran. 
     Diakui Cholid, meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri tak lepas dari meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor. Tumbuh pesatnya kendaraan bermotor tersebut telah menggiring Indonesia yang dulu dikenal sebagai pengekspor minyak, kini menjadi pengimpor minyak. 
     “Butuh kebijakan energi nasional untuk mengerem laju konsumsi BBM yang terus naik tersebut,” ujarnya.
Sedangkan Staf Ahli DPR RI, Suprih Hidayat, S Sos menilai pemerintah dari waktu ke waktu selalu terjebak dengan naiknya harga minyak dunia, yang memaksa harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Akibatnya, kenaikan itu membawa dampak buruk, yakni munculnya gejolak sosial di masyarakat.
     “Siapa pun yang memerintah negeri ini, selalu tersandera dengan harga BBM. Untuk lepas dari itu perlu kebijakan energi nasional yang menyeluruh, yang dapat mengerem kenaikan konsumsi BBM dalam negeri, sehingga subsidinya bisa digunakan untuk kepentingan rakyat yang lebih menyentuh,” ujarnya. (Jon)