Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_II)
Sri Sultan
Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) adalah
raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada
pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]
Riwayat Masa Muda
Nama aslinya adalah Gusti Raden
Mas Sundara, putra kelima Sultan Hamengkubuwana I dari
permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng. Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih bernama Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan
dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Mas Sundara juga ikut diakui
sebagai adipati anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada
sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundara menulis kitab Suryaraja yang
berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur
karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat
ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja.
Pemerintahan Periode Pertama
Mas Sundara naik tahta di Kesultanan Yogyakarta sebagai
Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan
cita-cita. Pada 19 Agustus 1799, Patih Danureja I, patih pertama dan orang
terdekat dari ayahnya dan Sultan Hamengkubuwana II sendiri, meninggal,
digantikan cucunya, Raden Tumenggung Mertanegara, yang bergelar Danureja II.
Keputusan ini kelak merugikan Sultan sendiri, karena Danureja II lebih banyak
membela Belanda daripada rajanya, sehingga sempat membuat Sultan marah dan
memecatnya.
Hamengkubuwana II sendiri sejak awal
bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui
kalau VOC sedang dalam
keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah
negeri Belanda akhir tahun 1799.
Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal
Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC adalah Herman Daendels yang anti
feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan
raja-raja Jawa terhadap minister (istilah
baru untuk residen ciptaan Daendels). Sultan menolak
mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya,
sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan
membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang
dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja
II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma
(adik Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui
pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo III, bupati
wedana Madiun yang menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di
Ngebel dan Sekedok, berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan
kesultanan oleh Daendels.
Belanda akhirnya
menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan
gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin mencurigai
peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari surat yang
diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga, terdapat cap berlogo
kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan terang
saja menolak tuduhan itu, karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor
patih. Pada bulan Desember 1810, Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan
Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai
Sultan Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat,
serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.
Pemerintahan Periode Kedua
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut
oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan
Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Tak
hanya itu, Sultan juga berinisiatif menyingkirkan Danureja II yang dianggap
sebagai biang keladi masalah yang dihadapi Sultan dengan Daendels. September 1811, Danureja II dibunuh di depan
Sitihinggil atas perintah Sultan ketika hendak menghadiri rapat di keraton.
Sikap Hamengkubuwana II
terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Terutama pada
putranya, Mas Suraja, sikap Sultan bisa dibilang amat keras, mengingat putranya
tersebut dianggap turut berperan dalam menyingkirkan dirinya dari singgasana
kesultanan tahun 1810. Pembersihan besar-besaran yang dilakukan Sultan
setelahnya, bahkan nyaris mengancam keselamatan jiwa sang putra mahkota. Dengan
Inggris, tercatat nyaris terjadi pertumpahan darah antara utusan Raffles dengan kerabat
keraton di depan Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih
rendah dari singgasana Sultan, sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut hendak
mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura
mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat
antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada
tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris yang
dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Terjadi perang besar
yang berakhir dengan kekalahan kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan
dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas
sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma
yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam Idan mendapat wilayah
berdaulat bernama Pakualaman.
Pemerintahan Periode Ketiga
Pada
tahun 1825 terjadi
pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali
berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertahta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V, di mana ia bertahta
menggantikan ayahnya tahun 1823 pada umur 3 tahun.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat
dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba
mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu
dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertahta pada 18 Agustus 1826, sedangkan Hamengkubuwana V agak disingkirkan
oleh Belanda. Kedatangan Sultan
sebagai penguasa Yogyakarta terbukti sedikit banyak melemahkan kekuatan
Diponegoro, mengingat kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke
Penang tahun 1812. Dalam masa itu, Sultan berusaha keras guna menertibkan
keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya, meskipun dihimpit dengan
tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa
tokoh penting keraton berhasil dibujuk pulang ke Yogyakarta, namun demikian,
Sultan sendiri tidak pernah berniat serius untuk membujuk Diponegoro dan
Pangeran Mangkubumi, putranya, untuk menghentikan perlawanan. Belanda
mencurigai tindakan Sultan ini sebagai dukungan terselubung terhadap perlawanan
Diponegoro.
Sultan Hamengkubuwana
II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sinuhun Sepuh), akhirnya
mangkat pada tanggal 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang
tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya,
yaitu Hamengkubuwana V.
Buku bacaan
Marihandono, Djoko,
dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan
Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji
Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
Catatan kaki
Foto copas: http://www.pernikjogja.com
2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A
history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke:
Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101
mengenai tanggal berkuasa kembali