H. Cholid Mahmud Jaring Aspirasi di Tamantirto, Kasihan, Bantul |
SEBAGAI lembaga negara, DPD RI sebenarnya
berpeluang berperan lebih optimal daripada yang bisa dilaksanakannya saat ini.
Karena, jika merujuk kepada UUD 1945, khususnya pasal 22D, tugas DPD RI adalah dapat mengajukan RUU
kepada DPR, ikut membahas RUU, dan melakukan pegawasan terhadap pelaksanaan UU
yang berkaitan dengan masalah-masalah daerah.
Tetapi sayangnya, kewenangan strategis ini tidak bisa diselenggarakan
secara optimal karena dalam aturan perundangannya, yaitu UU No 27/2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tugas dan kewenangan DPD telah tereduksi
sedemikian rupa sehingga akhirnya DPD hanya menjadi seolah staf ahli bagi DPR.
Faktanya, DPD tidak punya kewenangan ikut memutuskan sebuah RUU sampai final
menjadi UU karena proses finalisasinya menjadi kewenangan DPR. Dalam hal ini, keputusan
yang dihasilkan paripurna DPD maksimal berstatus sebagai masukan atau
pertimbangan bagi DPR.
Anggota DPD RI selama ini
berupaya terus-menerus agar tugas dan kewenangan lembaga DPD RI terpenuhi
secara proporsional setara dengan amanat UUD 1945 pasal 22D. Dinamika
tentang upaya penguatan kelembagaan dituturkan Anggota DPD RI dari Provinsi DIY,
H Cholid Mahmud, ST MT yang juga anggota Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dari
wawancara dalam perjalanan Cholid Mahmud menuju RM Inala Jalan Ringroad
Selatan, Gonjen, Tamantirto, Kasihan, Bantul hendak jaring aspirasi bersama anggota
dan tokoh masyarakat Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul pada Rabu, 18 Juli
2012, berikut ini.
Peran DPD saat ini dinilai masih
belum optimal. Apa upaya yang dilakukan DPD saat ini untuk lebih mengoptimalkan
peran dan fungsi kelembagaannya?
Upaya penguatan kelembagaan DPD selama
ini tidak pernah berhenti diperjuangkan oleh anggotanya. Bahkan saat ini dilakukan
semakin intensif, yaitu dengan melalui dua jalur. Pertama, amandemen UUD 1945.
Kedua, judicial review UU No 27/2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Bagaimana gambaran upaya itu
dilakukan?
Jalur pertama dilakukan oleh
Kelompok DPD di MPR. Upaya yang tengah
dilakukan adalah mendorong MPR RI mengamandemen UUD 1945. Harapannya dengan amandemen UUD 1945 ini
rumusan mengenai tugas dan fungsi lembaga perwakilan, khususnya DPD dapat lebih
jelas dan tegas.
Ide terhadap amandemen UUD 1945
oleh DPD ini tentu saja tidak hanya menyangkut tugas dan fungsi DPD, tetapi ada
juga beberapa hal yang lain. Berdasarkan hasil kajian DPD, terdapat paling
tidak 10 isu yang butuh diamandemen agar UUD 1945 itu lebih kontekstual sebagai
aturan dasar kehidupan bernegara kita saat ini dan yang akan datang , yaitu; penguatan
sistem presidensial, penguatan lembaga perwakilan, penguatan otonomi daerah,
calon presiden perseorangan, pemilahan pemilu nasional dan lokal, forum previlegiatum, optimalisasi peran
Mahkamah Konstitusi, penambahan pasal HAM, penambahan bab Komisi Negara, dan
penajaman bab tentang pendidikan dan perekonomian. Dalam ke-10 isu ini anda
melihat bahwa isu lembaga perwakilan hanya merupakan salah satu di antaranya.
Untuk menggolkan usulan-usulan di
atas maka perwakilan DPD di MPR sejauh
ini telah berhasil melakukan kooordinasi-koordinasi dengan berbagai
stakeholders, terutama dengan partai-partai politik yang tentu sangat
berkepentingan dan berkaitan langsung dengan isu amandemen ini. Dan sejauh ini
tanggapan parpol-parpol tersebut cenderung positif. Bagaimanapun jalur ini
masih berproses dan kita sedang menunggu hasil akhirnya.
Upaya melalui jalur kedua?
Adapun jalur kedua, yaitu melakukan judicial review terhadap UU MD3, dilakukan oleh lembaga DPD sendiri
dengan melibatkan pakar-pakar hukum tata negara. Secara internal DPD, langkah
yang dilakukan adalah pertama membentuk Tim Kajian terhadap UU MD3 dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Pada tahap ini yang dilakukan adalah
indentifikasi terhadap substansi isi UU MD3 tentang tugas dan fungsi DPD dikaitkan dengan
UUD 1945. Saat ini langkah ini sudah selesai dilakukan, bahkan sudah juga
diparipurnakan dan keputusannya adalah melanjutkan upaya menuju judicial review UU MD3.
Setelah tahapan paripurna dengan
keputusan seperti itu dilakukan maka kemudian di internal DPD dibetuk tim
litigasi yang bertugas mempersiapkan segal hal yang dibutuhkan sekaligus mengawal upaya judicial review agar berhasil
sebagaimana yang diharapkan. Sampai saat
ini tim litigasi tersebut masih bekerja. Dan, akan maju ke MK setelah upaya
persiapan terpenuhi semuanya.
Apa masalah utama yang ditemukan DPD dalam UU MD3 terkait dengan tugas dan fungsi DPD?
DPD melihat ada persoalan,
khususnya dalam hal peran dan kewenangan DPD RI, yang meliputi kewenangan DPD
di bidang legislasi, pengawasan, dan pertimbangan.Yang sangat mencolok di bidang
legislasi. Ada dua hal. Pertama, dinyatakan DPD membahas UU yang menyangkut daerah, tapi dalam
praktiknya ikut membahas itu artinya hanya sebatas memberikan pandangan mini,
yaitu pandangan setelah penyampaian pandangan umum, persis seperti tanggapan
fraksi. Itu saja. Pada proses selanjutnya DPD sudah tidak berhak terlibat lagi.
DPR memaknai “ikut membahas” itu hanya seperti itu. Padahal maksud pembuat
UU dulu, yang dimaksud “ikut membahas” ya
semuanya. Dari sejak tahapan awal diajukan sampai pada tahapan pengambilan
keputusan. Termasuk membuat DIM (Daftar Inventarisasi Masalah).
Memang ada keterbatasan menyangkut kewenangan lembaga DPD. Namun, bukan dalam penanganan proses legislasinya tapi dalam masalah pembidangan atau ruang lingkup masalah yang berwenang ditangani, yaitu persoalan-persoalan yang menyangkut daerah. Dalam UU MD3 nyatanya yang dibatasi bukan hanya bidang persoalan yang berwenang ditangani DPD, tetapi juga pada penanganan proses legislasinya, dimana DPD seolah-olah hanya petugas pemberi pandangan kepada DPR dan tidak boleh ikut dalam proses pembahasan, apa lagi dalam tahapan pengambilan keputusan.
Memang ada keterbatasan menyangkut kewenangan lembaga DPD. Namun, bukan dalam penanganan proses legislasinya tapi dalam masalah pembidangan atau ruang lingkup masalah yang berwenang ditangani, yaitu persoalan-persoalan yang menyangkut daerah. Dalam UU MD3 nyatanya yang dibatasi bukan hanya bidang persoalan yang berwenang ditangani DPD, tetapi juga pada penanganan proses legislasinya, dimana DPD seolah-olah hanya petugas pemberi pandangan kepada DPR dan tidak boleh ikut dalam proses pembahasan, apa lagi dalam tahapan pengambilan keputusan.
Masalah yang lain?
Yang lain adalah dalam hal hak mengusulkan RUU. UUD 1945
memberikan kewenangan kepada DPD mengusulkan RUU. Dalam praktiknya, usulan RUU
yang disampaikan DPD kepada DPR diperlakukan seperti usulan fraksi. Jadi,
sebuah usulan RUU tersebut awalnya akan masuk ke baleg (badan legislasi) DPR,
kemudian akan dibahas. Jika usulan RUU tersebut diterima oleh baleg dan
disetujui untuk dilanjutkan prosesnya maka selanjutnya RUU tersebut diajukan
dan menjadi usulan DPR.
Proses itu jelas menihilkan peran
DPD. Bayangkan, RUU usulan DPD tersebut adalah hasil paripurna DPD yang ketika
diajukan ke DPR ternyata tidak langsung diproses tetapi dinilai dulu oleh
sebuah alat kelengkapan DPR yang bernama baleg, apakah layak atau tidak layak
untuk kemudian diputuskan disetujui atau tidak disetujui. Padahal, UUD 1945 sangat jelas menempatkan DPD
sejajar dengan DPR. (MWR/RTO)