H.
Cholid Mahmud Reses di Joglo Tamansari:
Warga Kraton Kritisi Keistimewaan DIY
“Setelah sekian lama ditetapkan dan dilaksanakan, kami
merasa Keistimewaan DIY itu belum bisa mensejahterakan
masyarakat. Bahkan, seolah-olah hanya
kepentingan elit DIY belaka. Dana keistimewaan DIY terkesan hanya bisa dinikmati
oleh sebagian kalangan saja. Masyarakat
umum tidak bisa mengakses sehingga tidak dapat merasakan kemanfaatannya,”
demikian aspirasi kritis salah satu warga Taman, Kecamatan Kraton pada acara Jaring
Aspirasi yang diselenggarakan anggota DPD RI dari DIY, H. Cholid Mahmud di
Joglo Tamansari, Jalan Taman, Kalurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota
Yogyakarta pada Sabtu malam, 23 Juli 2016.
Saking belum dirasakannya
kemanfaatan keistimewaan DIY oleh masyarakat kecil, muncul pula aspirasi
perlunya amandemen UU Keistimewaan DIY ke depan. Bapak Eka misalnya,
menyusulkan, “Ke depan sebaiknya, Sri Sultan dan Sri Pakualaman ditetapkan
sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sedang Gubernur dan
Wakil Gubernur sebagai kelapa pemerintahan sekaligus pimpinan eksekutif di
Pemprov DIY tetap dipilih oleh rakyat sehingga kualitas dan integritas sang
calon Gubernur dan Wakil Gubernur teruji secara demokratis serta proses
pengawasan dan pertanggungjawaban kinerjanya lebih jelas, tegas, dan tidak ada ‘kesungkanan’
dari anggota Dewan sebagai legislatif.”
Bapak Arief Hadiyanto
mengkritisi penggunaan danais selama ini. Menurut beliau, “Danais semestinya
diarahkan untuk membangun manusia DIY agar berbudipekerti luhur dan berbudaya
istimewa. Danais seharusnya mampu mengangkat budaya luhur DIY yang relegius
serta mampu mengembangkan potensi dan khasanah kebudayaan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualamanan yang menjadi kebanggaan
masyarakat DIY, misalnya untuk pembuatan film Keistimewaan DIY tetang
Perjuangan HB I dan HB II dalam menentang penjajahan Belanda atau Film
Perjuangan HB IX dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Di samping itu, penggunaan
danais harus diwaspadai jangan sampai justru mendorong munculnya ritual-ritual
syirik yang bertentangan dengan jatidiri DIY yang berakar pada Kasultanan
Islam. Hal itu sangat menciderai keyakinan ummat Islam DIY dan tidak seiring
dengan visi misi pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,” ungkapnya.
Masih banyak aspirasi dan
masukan-masukan yang muncul dalam forum singkat itu, di antaranya menyayangkan
Pemerintah sangat akomodatif terhadap berdirinya hotel-hotel di Yogyakarta
sehingga menenggelamkan “keunikan” Tatakota Kota Yogyakarta. Pada sisi
kebijakan lokal, “Jogja bertambah ruwet karena banyak berjubelnya hotel. Jogja
bertambah semrawut dengan adanya bentor (becak motor) berseliweran tanpa
aturan. Terus terang hal ini membuat masa depan kami, para pekerja wisata
khususnya di jero beteng semakin suram. Kami mohon segera dibuat regulasi untuk
bentor, mungkin akan lebih baik kalau dihilangkan saja, atau tidak boleh
beroperasi di lokasi wisata,” usul Agus Wilopo, salah satu pemandu wisata di lokasi
wisata Tamansari.
Terhadap masukan dan aspirasi-aspirasi
tersebut anggota Komite I DPD RI. H. Cholid Mahmud berkomitmen akan
menyampaikan kepada pihak-pihak yang terkait. “Adapun aspirasi dan masukan yang
menyangkut regulasi atau kebijakan di Tingkat
Pusat Insya Allah akan kami bawa ke Jakarta, khususnya akan kami bahas di
Komite I DPD RI secepatnya,” ujar H. Cholid Mahmud yang malam itu tampak
kelelahan dan terbatuk-batuk. (MIS).