YOGYAKARTA – RUU (Rancangan Undang-Undang) Koperasi yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR RI mengadopsi UU Perseoran Terbatas dan UU Perbankan. Dari kedua UU itu banyak yang “di-copy paste” dengan tambahan improvisasi dari pemerintah sehingga menjadi seperti gado-gado. Sehingga, masyarakat akan menjadi asing terhadap isi RUU Koperasi.
Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Wilayah DIY Syahbenol Hasibuan mengungkapkan hal itu dalam Diskusi tentang RUU Koperasi yang diselenggarakan The Cholid Mahmud Center (CMC) Yogyakarta, Sabtu (29/1) di Kantor The CMC, Warungboto, Yogyakarta. Selanjutnya, pihaknya melalui Dekopin Wilayah DIY juga akan menyampaikan masukan resmi kepada pemerintah dan DPR RI. Dekopin Wilayah DIY sudah menyiapkan usulan draf serupa yang diberi nama RUU Perkoperasian terdiri 17 bab, 116 pasal setebal 102 halaman. Dalam usulan tersebut Dekopin Wilayah DIY juga mengkritisi RUU Koperasi versi pemerintah.
“Koperasi itu sebenarnya sangat mudah dalam penjabarannya. Kalau kita lihat lembaga ini murni sebagaimana disebutkan dalam prinsip-prinsip koperasi. Tapi, RUU ini bertentangan antara prinsip koperasi dengan fakta-fakta di lapangan,” ujarnya.
Dikatakannya, dalam RUU Koperasi sudah ada keinginan koperasi disamakan dengan Perseoran Terbatas. Padahal, jika tujuan pemerintah ingin membesarkan koperasi, tetap bisa dilakukan tanpa memaksakan kehendak ingin menyamakannya dengan perusahaan.
Namun demikian, lanjut Syahbenol, dalam RUU dijelaskan adanya pengawas yang mengaudit koperasi. Yaitu, pejabat fungsional yang bisa mengaudit. Bagian ini bisa menyempurnakan UU No 25/1992 tentang Koperasi yang tak mengenakan sanksi bila terjadi kesalahan.
Anggota DPD RI asal dapil Provinsi DIY Ir H Cholid Mahmud, MT menginisiasi forum diskusi terbatas itu sebagai upaya mendapatkan aspirasi dari komponen terkait, pengelola dan pengurus koperasi se-DIY. Selanjutnya, ia yang juga sebagai anggota Pansus RUU Koperasi di DPD RI akan membawa aspirasi masyarakat DIY guna dijadikan bahan masukan dari DPD RI bila kelak dibahas di DPR RI.
Anggota DPD RI asal dapil Provinsi DIY Ir H Cholid Mahmud, MT menginisiasi forum diskusi terbatas itu sebagai upaya mendapatkan aspirasi dari komponen terkait, pengelola dan pengurus koperasi se-DIY. Selanjutnya, ia yang juga sebagai anggota Pansus RUU Koperasi di DPD RI akan membawa aspirasi masyarakat DIY guna dijadikan bahan masukan dari DPD RI bila kelak dibahas di DPR RI.
"Harapan kita bisa memberi masukan mendasar terhadap RUU Koperasi. Mohon maaf bila draf diterima mendadak karena dari kami juga baru saja. DPR RI baru kirim draf pada masa reses dan anggota DPD RI baru menerima draf setelah reses. Saya di Komite IV termasuk anggota pansus RUU Koperasi di DPD RI," urai Cholid.
Diilustrasikannya pula, permasalahan koperasi di Indonesia hingga saat ini tidak menjadi mainstream dalam produk ekonomi nasional. Padahal seharusnya segala sesuatu akan dibangun dengan prinsip koperasi. Di Singapura 80 persen orang dewasa menjadi anggota koperasi dan ada proteksi-proteksi usaha strategis agar tidak bisa dijual. Di Indonesia, konstitusi dan slogan sudah ideal tapi praktiknya masih jauh dari harapan.
"Selama ini kita tahu, sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap koperasi. Saya mengharapkan ada ide-ide mendasar dari diskusi," lanjut Cholid.
Menurut Fajar Kurniawan, pengurus Koperasi Mahasiswa UGM, substansi RUU Koperasi bernuansa liberal. Ideologi tersebut bertentangan dengan 3 pilar ekonomi Indonesia. Indikatornya pada penggunaan kata “perusahaan” membuktikan koperasi masuk ke BUMN, bukan lagi koperasi.
“RUU Koperasi ini menempatkan koperasi hanya pada dimensi ekonomi, tak ada moral. Ini berimbas pada sebutan pemilik dan pelanggan. Juga, dari aspek yang berhak menjadi pengurus, dalam RUU Koperasi disebutkan, yang bisa dipilih dari bukan anggota. Ini bisa mengacak-acak yang sudah ada. Ini bahaya sekali,” bebernya.
Pemerintah menempatkan koperasi sebagai institusi yang bisa dipolitisasi. Masukan pasal-pasalnya juga secara bottom up, bukan top down. Padahal, pemerintah seharusnya hanya merekomendasikan, bukan menetapkan. Kami khawatirn ada unsur politisasi di sini,” tukas Fajar. (RTO)