Selasa, 11 Januari 2011

RUU Otoritas Jasa Keuangan Masih Pro Kontra

               YOGYAKARTA – Sistem OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebenarnya sudah digelindingkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak 1999, yaitu ketika UU No 23/1999 tentang BI diberlakukan. Tapi, hingga 2002 sistem OJK tidak kunjung muncul. Bahkan setelah UU tentang BI tersebut diamandemen dalam UU No 3/2004 tentang Perubahan atau Amandemen atas UU No 23/1999 tentang BI mengamanatkan pembentukan lembaga OJK selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. Namun, hingga batas akhir waktu yang dijadwalkan belum juga dipenuhi amanatnya.
Sampai saat ini masih berupa draft RUU OJK yang disusun oleh pemerintah (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Dalam draft RUU tentang OJK tersebut memuat prinsip pembentukan OJK yaitu sebagai lembaga yang bertugas mengawasi bank dan lembaga keuangan lainnya. Lembaga tersebut bergerak di bidang pengawasan sektor jasa keuangan yang independen.
Hal itu diungkap Anggota DPD RI asal daerah pemilihan Provinsi DIY Ir H Cholid Mahmud, MT selaku inisiator Diskusi Terbatas RUU Otoritas Jasa Keuangan, Jumat (7/1) di Kantor The Cholid Mahmud Center Yogyakarta. Hadir dalam forum tersebut narasumber Prof Dr Muhammad, MAg, pakar Ekonomi Islam dan Lembaga Keuangan Syariah serta Edi Sunarto, SE sebagai praktisi Lembaga Keuangan Syariah.
            “Hingga saat ini draft RUU OJK dan Naskah Akademik RUU tentang OJK masih harus dikaji dan diajukan dalam proses uji publik sebelum akhirnya dibahas bersama DPD RI dan DPR RI untuk pada akhirnya disahkan oleh DPR RI. Mengingat urgensinya hal itu, maka kami sebagai anggota DPD RI menginisiasi forum diskusi ini sebagai upaya menjaring aspirasi dari stakeholder yang memiliki kompetensi terkait. Selanjutnya kami akan menyampaikan semua aspirasi dari forum ke sidang paripurna DPD RI untuk dibahas bersama DPR RI,” ujar Cholid Mahmud. 
Menurut  Prof Dr Muhammad, MAg, jika RUU tentang OJK jadi disahkan dan diberlakukan, maka artinya UU tersebut berlaku untuk semua sistem lembaga keuangan. Namun, jika dicermati dari keanggotaan Dewan Komisioner (DK), dari aspek tata cara pencalonannya yang menjadi kewenangan Menteri Keuangan sangat berbahaya. Artinya, ada potensi like dan dislike. Selain itu, dari segi batas umur anggota DK yang dibolehkan hingga usia maksimum 65 tahun, ada kesengajaan agar pejabat terutama dari BI yang sudah pensiun justru diberi kesempatan berkarier dengan posisi terhormat.
“Ini mengindikasikan hanya pejabat di Kementerian Keuangan saja yang bisa menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner. Apakah tak ada lagi yang usia muda?” katanya mempertanyakan.
Ditambahkan Muhammad, pembentukan OJK juga tidak menjamin pengawasan yang lebih berkualitas. Sebab, apa pun sistem yang digunakan jika pelaku perbankan tidak becus atau kurang kompeten maka selama itu pula selalu ada celah bagi kecurangan dan penyalahgunaan. Korea Selatan juga sempat mempunyai OJK tapi dianggap gagal menerapkannya. Sistem moneter di Amerika Serikat juga hanya memperkuat kewenangan Bank Sentral dengan pengawasan berlapis. Meski begitu, ekonominya juga terpuruk. Begitu juga di Inggris dan Jepang.
“Kalau kita berkaca dari pengalaman negara maju maka sebaiknya ide OJK tak perlu diteruskan. Sebab kenyataannya negara-negara tersebut justru kembali ke kewenangan pengawasan bank kepada bank sentral. Hal-hal prinsip yang mengembalikan kewenangan kepada bank sentral ini yang perlu dikaji. Kita perlu studi banding ke sana. Seandainya kita kukuh menjalankan amanat RUU OJK maka pasal 65 (tentang Anggota Dewan Komisioner) dihapus saja. Karena ada pintu celah bagi DPR RI untuk setuju atau menolak Gubernur BI. Maka dalam konteks OJK hal itu juga bisa berlaku dan memungkinkan intervensi politik,” lanjut Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta ini.
Sebaliknya, menurut Edi Sunarto pembentukan UU tentang OJK tidak perlu dikhawatirkan. Karena, sebelumnya sudah diamanatkan dalam UU tentang BI sehingga harus direalisasikan. Meski demikian harus ada ketentuan yang tidak membebani lembaga keuangan pada saat diaudit, seperti keharusan menyediakan biaya operasional bagi akuntan publik yang mengaudit seharusnya dihapus. Selain itu, juga harus ada pembatasan dalam merekrut nasabah karena kecenderungan sekarang bank umum merebut nasabah yang seharusnya menjadi mitra lembaga keuangan mikro, seperti BMT atau BPR Syariah.
“Sekarang yang terjadi seperti berebut pasar. Ini harus ada etika. Kalau sudah menabung di bank lain, jangan didekati lagi supaya tak saling menabrak. Yang diperlukan adalah penguatan, tak saling mematikan,” usul Edi. (RTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar