ILUSTRASI SBY-SULTAN HB X
YOGYAKARTA (Berita Uptodate) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan Hamengku Buwono X terancam konflik panjang dalam penyelesaian Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Konflik ini ditakutkan membuat substansi persoalan keistimewaan menjadi kabur.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana mengatakan, konflik kedua tokoh bangsa ini tampak sangat personal. Di tingkat masyarakat muncul persepsi ada pertentangan meruncing antara SBY dan Sultan. “Pernyataan Presiden SBY tentang keistimewaan DIY menyempitkan persoalan menjadi hanya kontradiksi antara sistem pemerintah monarki dan demokrasi.
Pernyataan ini dibaca banyak pihak, termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pernyataan yang sangat personal karena mempersoalkan eksistensinya sebagai pimpinan daerah,”kata Dwipayana kepada SINDOkemarin. Sebelumnya, dalam rapat kabinet terbatas, Presiden SBY mengingatkan tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi.
Pernyataan ini dibalas Sultan bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden.Menurut Sultan,Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. Dwipayana memaparkan,keistimewaan DIY seharusnya dimaknai lebih luas pada kewenangankewenangan lain. Seperti pada bidang pertanahan, tata ruang, budaya, dan pendidikan.Argumentasi pemerintah menyempitkan makna keistimewaan menjadi sekadar rekrutmen pimpinan daerah saja.
Pernyataan ini dibaca banyak pihak, termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pernyataan yang sangat personal karena mempersoalkan eksistensinya sebagai pimpinan daerah,”kata Dwipayana kepada SINDOkemarin. Sebelumnya, dalam rapat kabinet terbatas, Presiden SBY mengingatkan tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi.
Pernyataan ini dibalas Sultan bahwa Provinsi DIY bukan pemerintahan monarki sebagaimana diungkapkan Presiden.Menurut Sultan,Provinsi DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. Dwipayana memaparkan,keistimewaan DIY seharusnya dimaknai lebih luas pada kewenangankewenangan lain. Seperti pada bidang pertanahan, tata ruang, budaya, dan pendidikan.Argumentasi pemerintah menyempitkan makna keistimewaan menjadi sekadar rekrutmen pimpinan daerah saja.
“Itu terlalu menyederhanakan persoalan,”ujarnya. Walau begitu, di balik isinya, dia melihat pernyataan Presiden menguak sikap politiknya untuk mendukung pemilihan sebagai mekanisme pengisian jabatan gubernur DIY. Selama ini sikap Presiden terkesan ditutup-tutupi dengan cara berlama-lama menggodok konsep RUUK Yogyakarta. Dia berkeyakinan soal substansi keistimewaan lebih penting untuk dibicarakan saat ini daripada perang antara Jakarta dan Yogyakarta yang diwakili pernyataan kedua tokoh tersebut.
Kolega Dwipayana, sosiolog Arie Sudjito, menyarankan masing-masing pihak mencari titik temu, bukan justru menciptakan kontroversi. Negosiasi tentang wacana keistimewaan DIY seharusnya dilakukan dengan cara elegan, tidak gaduh sehingga memancing reaksi publik berlebihan.“Keduanya (SBY-Sultan) harus menjaga diri, mengurangi tensi ‘bertarung’ dan mencari titik temu,”ujarnya.
Senada dengan Dwipayana, Arie Sudjito menekankan pentingnya pembahasan substansi keistimewaan. Seperti apa manfaat yang akan diperoleh rakyat daripada hanya ribut mempersoalkan mekanisme suksesi. “Saat ini baik Presiden maupun Sultan harus bisa menunjukkan sikap kebangsaan dan kenegarawanan. Di sinilah perlu kearifan dan kebijaksanaan,” katanya.
Mendukung Penetapan
Senada dengan Dwipayana, Arie Sudjito menekankan pentingnya pembahasan substansi keistimewaan. Seperti apa manfaat yang akan diperoleh rakyat daripada hanya ribut mempersoalkan mekanisme suksesi. “Saat ini baik Presiden maupun Sultan harus bisa menunjukkan sikap kebangsaan dan kenegarawanan. Di sinilah perlu kearifan dan kebijaksanaan,” katanya.
Mendukung Penetapan
Kemarin muncul kritik terhadap pernyataan Presiden SBY bahwa tidak boleh ada suatu sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan demokrasi. Koordinator Kawula Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sigit Sugito mengatakan, ada tiga aspek yang kurang dipahami oleh Presiden SBY saat menyebutkan DIY itu monarki. Sigit mempertanyakan sikap SBY yang bersikukuh dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang dianggap demokratis.
“Pertanyaannya adalah, jika mayoritas rakyat DIY itu aspirasinya menginginkan penetapan tapi pemerintah pusat menginginkan pemilihan, apakah itu disebut demokratis? Justru itu malah tidak demokratis,” gugatnya. Menurut dia, Presiden juga salah jika menyebutkan Sultan itu sebagai simbol monarki yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi.“ Justru dalam kehidupan seharihari Sri Sultan sangat demokratis, sangat menghargai pluralisme dan keberagaman,”ungkapnya.
Paguyuban pamong desa se- DIY, baik yang tergabung dalam Paguyuban Dukuh Semar Sembogo maupun Paguyuban Kepala Desa Ismoyo menilai Presiden SBY tidak memahami kultur dan keinginan warga DIY. Hal itu terutama tampak pada pernyataan Presiden soal penolakan terhadap sistem pemerintahan monarki. Ketua Paguyuban Kepala Dukuh Se-DIY Semar Sembogo, Sukiman, menegaskan bahwa letak keistimewaan DIY justru berada pada proses penetapan, bukan pemilihan.
“Pertanyaannya adalah, jika mayoritas rakyat DIY itu aspirasinya menginginkan penetapan tapi pemerintah pusat menginginkan pemilihan, apakah itu disebut demokratis? Justru itu malah tidak demokratis,” gugatnya. Menurut dia, Presiden juga salah jika menyebutkan Sultan itu sebagai simbol monarki yang dianggap tidak sejalan dengan demokrasi.“ Justru dalam kehidupan seharihari Sri Sultan sangat demokratis, sangat menghargai pluralisme dan keberagaman,”ungkapnya.
Paguyuban pamong desa se- DIY, baik yang tergabung dalam Paguyuban Dukuh Semar Sembogo maupun Paguyuban Kepala Desa Ismoyo menilai Presiden SBY tidak memahami kultur dan keinginan warga DIY. Hal itu terutama tampak pada pernyataan Presiden soal penolakan terhadap sistem pemerintahan monarki. Ketua Paguyuban Kepala Dukuh Se-DIY Semar Sembogo, Sukiman, menegaskan bahwa letak keistimewaan DIY justru berada pada proses penetapan, bukan pemilihan.
Artinya, tidak benar jika DIY menganut sistem monarki dan bertentangan dengan UUD 45. “Jika nantinya gubernur DIY dengan pemilihan, seluruh kepala dukuh di DIY menyatakan sikap tidak akan menjadi panitia pemilihan,” ancamnya. Di tempat terpisah,Ketua Paguyuban Kepala Desa Se-DIY Ismoyo, Mulyadi,berharap pemerintah pusat tidak memaknai sejarah DIY secara parsial. Nilai sejarah dan unsur budaya harus menjadi dasar untuk memahami keistimewaan DIY.
”Saya minta pemerintah pusat kembali membuka sejarah bergabungnya Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI,”harapnya. Wakil Ketua DPRD DIY Janu Ismadi mengatakan, apa pun langkah yang diambil pemerintah pusat, DPRD DIY tetap mendukung penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Selain itu, DPRD juga mengharapkan RUU Keistimewaan DIY selesai tahun ini. Alasannya, 2011 merupakan tahun terakhir masa perpanjangan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY.
Memahami Kesultanan
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Vernando Wanggai membantah Presiden SBY tidak memahami kultur tatanan masyarakat, sosial budaya, sosiologis, dan konteks politik yang berkembang di Yogyakarta.Menurut dia, Presiden SBY sangat memahami sistem kesultanan Yogyakarta. “RUU Keistimewaan DIY tidak akan mengurangi keistimewaan Yogyakarta, bahkan akan semakin menguatkan unsur istimewa yang dimiliki Yogyakarta.
RUU Keistimewaan justru akan semakin memperkuat pengaturan posisi keraton. Keraton akan lebih strategis dalam konteks kelembagaan pemerintahan dan pembangunan daerah,”ujar Velix Wanggai dalam pernyataan yang diterima SINDOkemarin. Presiden SBY memahami posisi kultural dan warisan tradisi,dan selanjutnya diakomodasi dalam konteks sistem hukum dan demokrasi saat ini. Karena itu, pernyataan Presiden SBY perlu dimaknai sebagai upaya pengakuan dan penghormatan warisan tradisi,kekhususan, dan kebudayaan keraton dalam konteks demokrasi.
Velix menambahkan, sejak awal posisi pemerintah diletakkan dalam tiga visi besar, yaitu mengakui dan menghormati sejarah keistimewaan DIY, pilar NKRI yang diamanatkan dalam UUD 1945, dan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi. Keistimewaan Yogyakarta ini tidak hanya dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja, tapi filosofi utamanya negara mengakomodasi prinsip keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan kewenangan khusus, kelembagaan pemerintahan daerah yang menghargai warisan tradisi, keuangan daerah, kebudayaan, pertanahan dan penataan ruang, serta kehidupan demokrasi lokal. “Prinsipnya yaitu bagaimana mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang,” kata alumnus UGM itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar