Rabu, 15 Desember 2010

Warisan Tahta untuk Rakyat

Belanda juga Jepang tak pernah menaklukan Keraton. Kontrak politik dengan Soekarno.
Elin Yunita Kristanti
(sumber: www.vivanews.com., JUM'AT, 3 DESEMBER 2010, 22:03 WIB)


Sri Sultan HB IX 
VIVAnews – Ini cerita dari masa silam. Suatu malam di ujung Februari 1940. Pria muda itu berbaring di tempat tidur. Dia letih. Juga gelisah.  Sudah empat purnama batin berkecamuk. Sebab Jenderal Lucien Adam memaksanya menandatangani kontrak politik.  Dia keras menolak. Sebab jika menurut, Keraton Jogyakarta  segera di bawah “ketiak” Belanda.
            Terus-terusan menolak keras, berbahaya juga. Si tuan Lucien, yang menjadi Gubernur Belanda di Indonesia itu, sudah meradang . Sungguh simalakama. Mengangguk atau menggelang, sama gelisahnya. 
            Malam itu, antara tidur dan terjaga, batinnya berbisik. “Tole tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene.” (Nak, tanda tangan saja, toh Belanda akan angkat kaki dari sini).  Dia yakin itu suara pinuntun. Sikapnya lalu melunak. Bukan mengalah.
            Senin Pon 18 Maret 1940, suara salvo berpekik di halaman Keraton. Dentuman meriam 13 kali. Memecah keheningan di Siti Hinggil.  Hari itu Gusti Raden Mas Dorojatun, lelaki yang sudah lama galau itu, dilantik Belanda menjadi sultan. Dia diberi gelar  Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sultan Hemengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping-IX
            Lega sudah si tuan gubernur? Tidak juga. Sebab dari atas panggung sultan muda itu “meledakkan” bom baru. Dia berpidato dalam bahasa Belanda. Lancar tanpa cacat.  Tapi tak sekata pun berjanji setia pada negeri jauh itu. Apalagi tunduk. Dia justru berikrar bekerja keras untuk hal yang disebutnya sebagai Nusa dan Bangsa.
Dengan suara tegas dia berkata,  “Izinkanlah saya mengakhiri pidato ini dengan berjanji,  semoga saya bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.” "Ik ben en blijf in de Allereerste plaats Javaan.”  Saya adalah dan bagaimanapun tetap orang Jawa.
            Lahir Sabtu Pahing 12 April 1912, dia sudah hidup di luar tembok Keraton semenjak usia 4 tahun. Dititipkan di keluarga Belanda bernama Mulder, di daerah Gondokusuman, Jogyakarta. Hidup  di lingkungan para meneer itu, dia dipanggil dengan nama Henkie. Nama itu terus melekat hingga ia kuliah di Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie atau Ilmu tentang Indonesia.
            Masa kecil bersama nyonya dan tuan Belanda, serta menimba ilmu di negeri kincir angin itu, tidak membuatnya bertekuk lutut. Saat Jepang menguasai Indonesia, sultan muda itu bertahan di Keraton. Rayuan dan bahkan usaha penculikan pihak Belanda gagal memaksanya mengungsi ke Australia.
            Ketika ribuan serdadu Nipon merangsek ke Jogya, sultan muda ini berdiri di depan rakyat. Menenangkan rakyat yang gemetaran dan duduk bernegosiasi dengan Jepang. Hasilnya, pemerintah negeri matahari terbit itu mengukuhkan kekuasaanya pada 1 Agustus 1942.
            Dia mengunakan segenap siasat guna melindungi rakyat dari Nipon yang kejam. Memanipulasi statistik.  Jumlah sapi, kambing, kerbau dan hasil panen dikurangi.  Jogya jadi miskin dalam angka. Para tengkulak Jepang tak sekejab pun melirik.
            Ketika hampir seluruh rakyat negeri ini diangkut jadi Romusha ke Birma, sultan muda ini membuat proyek irigasi besar Selokan Mataram.  Dengan dalih demi pertanian. Rakyat dikerahkan ke proyek selokan itu. Pembangkangan itu membuat Sri Sultan terus-terusan ditegur Jenderal Jepang.

Dikira Sopir Aneh
            Sebuah tulisan apik wartawati legendaris, S.K Trimuri, “Kesan-kesan Wong cilik tentang Rajanya” di Buku ‘Tahta untuk Rakyat’ merekam betapa sultan muda itu sungguh bersahaja.
            Suatu hari, perempuan pedagang beras di daerah Kaliurang menyetop sebuah jip yang meluncur ke arah selatan. Seperti biasa, Simbok itu berniat numpang kendaraan menuju ke Pasar Kranggan, Yogyakarta. Ia pun menyiapkan sejumlah uang untuk ongkos nunut.
            Perempuan tua itu meminta sopir jip menaikkan karung-karung gendut berisi beras. Sesampainya di pasar, dia menyuruh si sopir menurunkan karung-karung itu. Sesudah semua beres, dia  menyodorkan uang sewa.  Tapi supir jip itu halus menolak. Simbok bakul itu mencak-mencak. Dia menduga, uang itu ditolak  sebab terlalu sedikit.
Setelah jip itu pergi, seorang polisi menghampirinya dan bertanya, “Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?".
            Masih jengkel, Simbok itu menjawab, "Sopir ya sopir. Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh." Lalu, polisi itu menimpali, "Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri  Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." Seketika itu juga simbok bakul tadi jatuh pingsan.
            Dalam buku yang sama, wartawan senior, Rosihan Anwar menceritakan sosok seorang Sultan yang sangat jauh dari kesan feodal. Dia lebih sering berbahasa Indonesia bercampur Belanda.  Saking demokratisnya, kata Rosihan, ia tak pernah keberatan dipanggil ‘Bung Sultan’.

Soekarno Lompat dari Kursi
            17 Agustus 1945. Ketika Indonesia diproklamasikan Kerajaan Jogyakarta sesungguhnya bisa melepaskan diri dan membentuk negara sendiri. Tapi sultan muda itu melewatkan kesempatan itu. Berita kemerdekaan Indonesia justru disambut gempita di kaki Merapi itu. Sore hari, Ki Hajar Dewantara langsung menyelenggarakan pawai sepeda keliling kota.
            Sultan pun tak ragu mengambil sikap. Pada 18 Agustus sore ia dan Sri Paku Alam mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno dan Mohammad Hatta. Telegram kedua dikirim tanggal 20 Agustus 1945. Isinya: sanggup berdiri di belakang presiden dan wakil persiden. Surat yang sama dikeluarkan Pangeran Paku Alam VIII. Konon, isi telegram itu mampu membuat Soekarno meloncat dari kursi, saking gembiranya.
            Tak sampai di situ, Sultan diikuti Paku Alam mengeluarkan amanat 5 September 1945. Ada tiga poin di situ.  Kerajaan Yogyakarta merupakan derah istimewa RI.  Semua kekuasaan dan urusan pemerintah DIY dipegang sepenuhnya oleh Sultan.  Sultan bertanggung jawab langsung pada Presiden RI.
            PJ Suwarno dalam Buku “Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974”, menganalogikan amanat itu sebagai 'Proklamasi Kemerdekaan Yogyakarta’ dari Jepang. Amanat 5 September adalah pernyataan berani dan mengandung risiko tinggi--yang justru dihindari para elit di Jakarta. Dan, di bulan September itu, di setiap rumah dan bangunan di Yogyakarta berkibar bendera merah putih.
            Sehari kemudian 6 September 1945 datang dua utusan Presiden RI menyerahkan piagam berisi pengakuan kedudukan Sri Sultan dan Sri Paku Alam dan bahwa Yogyakarta dan Paku Alaman adalah bagian RI dan mendapat predikat istimewa.
            Piagam kedudukan dari Presiden RI memiliki arti penting bagi Yogyakarta. Bahwa, kekuasaan berdasarkan keturunan memiliki legalitas, selain juga dijamin dalam Pasal 18 UUD 45. Di sisi lain, ketegasan Sultan membuat rakyat makin menghormatinya.
Amanat 5 September 1945 itu, kata putra Sultan Hamengkubuwono IX, GBPH Yudhaningrat adalah semacam
ijab-kabul.
            Kesetiaan Sultan pada Indonesia terbukti saat 3 Januari 1946 ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Di tengah sulitnya kondisi, Sultan tak sayang mereok perak gulden dari  peti hartanya. Ia menggunakan uang itu untuk menghidupi para pegawai negeri, termasuk para petinggi Indonesia. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sampai 5 juta gulden. Suatu hari, Hatta menanyakan apakah uang itu perlu dihitung dan dibayar pemerintah.  Sultan tak menjawab. Tak pernah ada jawaban. Dan uang itu juga tak pernah dibayar hingga kini.
            Sultan juga berdiri paling depan, ketika pasukan Belanda merangsek dalam perang Serangan Umum 1 Maret 1949. Jenderal Meyer mengancam akan memeriksa dan menduduki keraton yang disebutnya sebagai sarang pengacau. Jawab Sultan saat itu, “Langkahi dulu mayat saya.”
Laporan: Juna Sanbawa| DIY 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar